Masa Depan Makanan
Berita di internet beberapa waktu terakhir ini ramai membahas mengenai kemungkinan terjadinya krisis pangan yang signifikan di berbagai penjuru dunia. Ada banyak teori bermunculan mengenai bagaimana krisis pangan bisa terjadi sampai saat ini. Jumlah pangan yang tidak sesuai dengan jumlah penduduk, kesulitan mendapatkan lahan bercocok tanam, hingga permasalahan yang sering timbul selama proses bercocok tanam dilakukan secara tradisional. Diantara sekian banyak solusi yang ditawarkan, terdapat satu solusi yang cukup mencengangkan dan belum familiar di telinga masyarakat kita. Ada yang bisa menebaknya? yaps 3D Food printing!
Ide awal mengenai 3D Food Printing lahir dari keinginan untuk memberikan pengalaman kuliner yang berbeda dan menarik bagi masyarakat. Sebagai bahan konsumsi utama, makanan wajib memenuhi keunggulan pada nilai gizi, rasa, tampilan dan harga. Coba kita pikirkan seandainya ada sebuah makanan dengan nilai gizi yang cukup, rasa yang enak, tampilan yang menggiurkan dan harga yang terjangkau apakah kita akan tertarik? Tentu saja jawabannya iya. Tidak heran jika dengan 4 kualitas utama ini, 3D food printing menjadi teknologi yang ramai dipilih oleh pelaku bisnis kuliner di dunia cepat saji. Keunggulan lain dari 3D Food Printing adalah menghemat waktu pembuatan dan mencegah terjadinya food waste. Jika umumnya membuat satu makanan menghabiskan waktu 10 menit, 3D Food Printing bisa menggunakan waktu 10 menit untuk membuat 10 makanan yang sama. Sudah berapa banyak yang bisa dihemat dengan waktu ini. Food waste pun menjadi lebih terkendali karena makanan hanya disajikan sesuai kebutuhan.
3D Food Printing sesuai namanya telah berhasil mengembangkan teknologi yang disebut edible ink. Edible ink memungkinkan makanan dicetak menggunakan tinta yang bisa dimakan. Cara kerja edible ink adalah dengan mentransfer gambar ke kertas yang dapat dimakan. Semua bahan dan alat yang digunakan harus memiliki sertifikasi aman dan disetujui oleh Food and Drug Admininistration. Bahan ini umumnya berbentuk bubuk yang mudah larut di dalam air namun memiliki kualitas cetak yang lebih tahan lama. Dengan kelebihan ini, lebih mudah mewujudkan bentuk makanan apapun sesuai keinginan pembuatnya.
Kendatipun teknologi food printing diprediksi akan mendominasi dunia kuliner di masa depan, nyatanya masih lebih banyak masyarakat yang belum mengetahui. Permasalahan lain, teknologi ini masih menyisakan tanda tanya. Beberapa pihak menganggap bahwa food printing sendiri adalah produk rekayasa makanan yang dibuat di laboratorium. Golongan ini percaya bahwa makanan adalah sesuatu yang sakral, tidak boleh bercampur atau terkontaminasi dengan hal-hal asing. Nilai gizi yang ditawarkan teknologi ini bahkan dianggap masih banyak kekurangan dibanding dengan efek kedepannya. Lebih jauh lagi, bahkan teknologi ini dianggap dapat mengancam kehidupan masyarakat dan tidak seharusnya ada. Jadi bagaimana? Tertarik mencobanya?

Comments
Post a Comment